June 30, 2008

Bukan cuma buah yang bisa dikarbit

Dulu saat punya pacar, seringkali saya mendapat pertanyaan “kapan nih menikah?” Setelah akhirnya saya menjadi istri, saya kembali disodori banyak pertanyaan “udah isi belom?” (Padahal saat itu pernikahan saya baru berusia 1 bulan saja! Doh!) Lalu sekarang setelah saya menjadi seorang ibu, muncul lagi pertanyaan wajib yang dilontarkan ke saya. “Anaknya udah bisa apa?”

“Udah bisa apa ya…” pikir saya dalam hati, wong anak saya masih 2 bulan. Paling-paling bisanya bobo lebih rutin, mimi susu lebih banyak, nangis, dan senyum-senyum sosial. Sekarang setelah mau berusia 4 bulan, pertanyaan wajib itu semakin sering. Awalnya saya memang bingung sekali harus menjawab apa. Karena saat mereka bertanya saya jadi berpikir “Emang apa yang mereka harapkan dari kemampuan anak bayi yang baru lahir?” Lalu pikiran saya jadi berkembang jauh. Mungkinkah pertanyaan itumemang perhatian yang begitu tulus atau sekedar ‘studi banding’? Lalu kenapa mereka senang sekali melakukan ‘studi banding’? Atau jangan-jangan akibat terlalu banyak terpaan media yang membahas perkembangan anak sehingga menimbulkan ekspektasi yang tidak semestinya pada orangtua.

Memang benar, bayi itu manusia yang perkembangannya dahsyat sekali. Hitungannya bukan hanya sekedar pertambahan bobot (catat: penambahan dan bukan pengurangan bobot) setiap tahun seperti kita. Perkembangannya tidak per-tahun tapi per-hari. Seperti yang terjadi pada Nayarra hari kamis kemarin. Tiba-tiba dia bisa mengoceh. Dan sejak itu ia mengoceh terus. Bahkan pada pukul 4 pagi!

Namun saya teringat omongan ayah saya suatu hari. “Membesarkan anak itu bukan seperti kamu bekerja di kantor yang punya target-target khusus dengan deadline ketat.” Nikmati proses perkembangannya setiap saat, dan bukan hanya terfokus dengan target.

Seperti sebuah artikel yang pernah saya baca membahas tentang Era superkids. Semakin banyak orangtua dan pendidik untuk melakukan “Early childhood training”. Setiap orangtua dan pendidik berlomba-lomba menjadikan anak-anak mereka menjadi anak-anak super. Menjadikan anak mereka “be special” daripada “be average or normal”. Di era superkids ini orangtua saling berkompetisi dalam mendidik anak karena mereka percaya “earlier is better”. Memang sebenarnya tidak ada yang salah memiliki keinginan punya anak yang outstanding. Namun saat anak dipaksakan untuk mengikuti berbagai kepentingan dan ego orangtua, maka lahirlah superkids.

Tekanan yang bertubi-tubi menjadikan anak-anak super ini menjadi miniatur orang dewasa; berperilaku layaknya orang dewasa ataupun berpakaian mirip orang dewasa. Tapi sayangnya emosi dan perasaan anak tidak bisa dikarbit. Emosi dan perasaan anak memiliki waktu dan ritmenya sendiri. Anak membutuhkan waktu untuk tumbuh, untuk belajar dan untuk berkembang. Anak butuh proses dalam kehidupannya.

Tambah miris lagi, sekarang ini ada kecenderungan keluarga muda yang berkarir di luar rumah dan tidak punya waktu banyak untuk anak mereka sehingga mengandalkan tenaga babysitter sebagai pengasuh anak-anaknya. Para orangtua ini akan sangat bangga jika anak mereka superior di segala bidang dengan menyekolahkan di sekolah termahal atau termutakhir. Namun ironisnya para orangtua yang sibuk ini cukup puas mewakilkan diri mereka kepada babysitter terhadap pengasuhan dan pendidikan anak.

Benar kata ayah saya, merawat anak memang bukan seperti merawat karir yang penuh dengan ambisi. Sebagai orangtua saya harus yakin bahwa anak membutuhkan proses dan waktu untuk menemukan keistimewaan yang dimilikinya. Dengan menciptakan kehangatan dalam keluarga menumbuhkan kekuatan rasa yang sehat pada anak untuk percaya diri dan antusias dalam kehidupan belajar.

Mungkin kita sering mendengar tentang hebatnya pendidikan di sekolah anu atau di tempat kursus lain. Tapi saya yakin, tak ada pendidikan yang lebih baik selain kenangan indah di masa kecil.


*Mengutip tulisan Dewi Utama Faizah "Anak-anak Karbitan"

June 27, 2008

50 : 50

Saat saya masih hamil banyak orang terheran-heran kenapa saya gak penasaran dengan jenis kelamin si jabang bayi. Ah kenapa mesti penasaran? Toh perbandingannya cuma 50:50. Kalo gak laki-laki ya perempuan. Lalu kalo pun sudah tau memangnya mau apa? Beli perlengkapan warna biru untuk laki-laki atau warna pink untuk bayi perempuan?

Nah itu yang saya sengaja hindari! Saya dan suami udah berencana gak mau nge-brain wash anak saya sejak dini dan membatasi kebebasannya berekspresi. Wong masih cilik juga. Biar dia berkembang menjadi anak yang berani mengeksplorasi warna. Laki-laki boleh kok menyukai warna ungu atau perempuan sah-sah aja menggilai warna ijo tai kuda. Walaupun emang setelah Nayarra lahir tetep aja mulai dari orangtua sampe kerabat memberikan buah tangan yang kepink-pink-an.

Selain hanya untuk beli perlengkapan, mengetahui jenis kelamin sejak dini menurut saya sekedar untuk memenuhi ego. Karena si ayah pengen anak laki biar punya partner nonton bola, si ibu pengen anak perempuan supaya bisa didandani, atau si nenek pengen cucu laki-laki untuk meneruskan nama keluarga. Belum lahir aja udah dibebani dengan ego orangtua atau nenek kakeknya. Kasian sekali si jabang bayi…

Kadang kita memang suka khilaf, anak yang masih di dalam perut buncit ibunya itu bukan benda untuk memuaskan ego orangtuanya. Dan bukan tidak mungkin ujung-ujungnya si orangtua jadi lupa bersyukur karena harapan tinggal harapan ketika kenyataan tidak sesuai keinginan.

Padahal dipercayai untuk dititipi anak aja sudah bagus ya, kok tambah pakai request huhuhu Manusia oh manusia…

June 21, 2008

Pahlawan dengan Tanda Hati

Setiap tanggal 10 November, sebagai warganegara Indonesia tentu saya ikutan merayakan hari pahlawan. Meskipun saya sendiri baru tau peristiwa yang melatarbelakanginya setelah bertanya ke teman kantor saat menulis artikel ini. Lalu apa arti pahlawan untuk saya kalo saya sendiri tidak paham mengapa tanggal 10 november dijadikan hari pahlawan? Yang selama ini tertanam di benak saya, pahlawan itu mereka yang membela kebenaran. Rela berkorban. Berjuang melawan penjajah. Punya nasionalisme dan idealisme yang tinggi. Serta tanpa tanda jasa.

Itu dulu. Sekarang saya punya pemahaman baru soal pahlawan.

Pahlawan adalah suami yang sepenuh hati selalu mendampingi dan mendukung istrinya berjuang melahirkan seorang anak manusia. Memang bukan ia yang sedang berjuang. Tapi berkat dukungannya, seorang wanita seperti saya akhirnya mampu melaksanakan jihadnya sampai titik akhir. Bahkan menurut saya pahlawan jenis ini tak ada tandingannya. Bayangkan saja; ia tidak saja menjadi suami yang setia tapi juga supporter handal yang terus memberi semangat, instruktur senam hamil yang mahir, suster yang selalu siap memberikan makan minum dan memapah pasiennya ke toilet, tukang pijat khusus ibu hamil, kekasih yang selalu memberi pelukan dan kecupan hangat, wartawan jurnalistik yang sigap mengabadikan tiap momen bersejarah, babysitter cekatan karena si ibu belum mampu turun dari tempat tidur, bahkan beberapa ada yang dijadikan sand sack (untungnya suami saya tidak hehe). Luar biasa!

Rasanya sangat sangat wajar jika wanita seperti saya saat melahirkan tidak saja jatuh cinta pada pandangan pertama dengan si bayi mungil, namun juga jatuh cinta untuk kedua kalinya untuk mantan kekasih saya, suami tercinta.

Sudah sepatutnya saya berikan standing applaus paling meriah untuk pahlawan saya yang paling dekat di hati. Tanpanya, saya rasanya tak akan mampu melewatinya atau mungkin saja sudah menyerah di tengah jalan dan memilih dibawa ke meja operasi.

Plok..plok..Plok…Plokkkk……Suittt suittttt…………



*Selamat ulang taun sayang. beruntungnya aku jadi istri kamu.