Begitu tahu saya memutuskan berhenti bekerja, banyak sekali wajah-wajah penuh tanya menghampiri saya. “serius Li? Bukan cuma alasan mau pindah aja?” tanya sebagian besar teman kerja. Yang lain dengan mimik penuh empati, “Gak tega ninggalin anak ya?” Semua hanya saya tanggapi dengan senyum dan anggukan. Toh saya tidak ada kewajiban untuk membeberkan alasan mengundurkan diri dari kancah dunia karir. Lagian ini masalah polemik yang sangat sensitif untuk sebagian besar kaum ibu. Sebab, demi anak sebagian ibu memutuskan tetap bekerja dan merelakan waktunya lebih lama di luar rumah. Dan demi anak pula sebagian ibu melepaskan karirnya yang sedang bersinar untuk mengasuh anaknya. Yup, mereka punya alasan kuat yang sama; demi anak. Hanya saja mereka menempuh cara yang berbeda.
Setiap orangtua pasti menginginkan masa depan yang baik untuk anaknya. Berlomba-lomba menyiapkan bekal untuk mereka kelak. Itu juga salah satu alasan saya berhenti menjadi karyawan; ingin menyiapkan bekal untuk buah hati tercinta, dan insya Allah tak cuma bekal di dunia tapi juga akhirat.
Sebagai orangtua tentu saya sudah punya harapan bagaimana kehidupan saya dan suami bersama anak-anak kelak. Teringat nasihat ayah saya dulu, saya mencoba “memulai dari akhir”. Ayah saya selalu mengingatkan, “ketika nanti orang-orang datang ke pemakaman kamu, seperti apa kamu ingin diingat dan dikenang mereka?”. Saya pun sempat menerawang jauh, mencoba membayangkan kehidupan saya dan keluarga di masa yang akan datang yang kami impikan. “hmm..memiliki keluarga yang sakinah mawaddah warohmah dengan anak yang sholeh dan sholehah bukan perkara mudah ya” pikir saya. Kemudian mulai memutar otak, apa yang bisa dan semestinya saya lakukan sebagai ibu untuk mewujudkannya. Jawaban yang saya peroleh? Salah satunya adalah melakukan pola asuh anak yang tepat sejak dini.
Mendidik anak menjadi pintar atau juara kelas menurut saya tidak sulit. Sekarang sudah banyak metode baru dan cara yang ditawarkan yang mampu mendongkrak kecerdasan otak anak. Yang sulit adalah mendidik anak supaya memiliki akhlak yang baik serta emosional yang cerdas. Saya tak akan bangga melihat anak saya juara kelas tapi tidak tahu cara menghormati orang yang lebih tua. Saya akan menyalahkan diri saya sebagai orangtua jika anak saya sombong dan senang berbohong, berani melawan orangtua, bengis terhadap hewan, kasar kepada pembantu, atau sering lupa mengucapkan terima kasih.
Kalau menurut teori ilmu psikologi, perkembangan anak bukan cuma perkembangan fisik dan otak, namun juga perkembangan psikososial yang dipengaruhi faktor sosial dan kultur. Oleh karena itu usia 0 – 3 tahun adalah usia yang krusial. Sebagian menyebutnya golden years. Karena di usia inilah anak sedang mengalami perkembangan yang luar biasa dan terbentuknya katakter sang anak. Melihat yang terjadi di sekitar saya, sungguh prihatin sekali melihat perkembangan psikososial dan pendidikan akhlak anak-anak sekarang. Ini juga alasan saya sebagai ibu ingin mengasuh sendiri anak-anak saya saat ini, bukan diasuh oleh babysitter, pembantu, ataupun kerabat lainnya. Saya tak ingin menyesal di kemudian hari jika anak saya lebih suka makanan fast food daripada masakan saya yang dihidangkan di rumah atau lebih nurut sama pembantu daripada mamanya hehehe...
Menjadi seorang ibu adalah anugerah yang luar biasa. Bukan cuma mengalami kebahagian yang tertandingi tapi juga diliputi banyak keajaiban. Lihat saja bagaimana mereka tak hanya mampu berhasil melewati masa kehamilan, melahirkan dengan susah payah, merawat keluarga setiap saat, namun juga sukses dengan karir atau bisnisnya.
Semoga saja saya satu diantaranya.